Langsung ke konten utama

Review Buku; Seteru Berjamaah – Konflik adalah Sunnatullah


Seteru Berjama’ah, membaca judulnya dapat saya bayangkan buku ini berisi banyak sekali konflik yang terjadi dalam sebuah kelompok, golongan. Istilah ‘seteru’ berarti bukan sekedar konflik biasa namun sampai ke taraf bermusuhan sehingga menyebabkan sebuah perpecahan. 

Menariknya, seteru ini terjadi dalam kelompok yang identik dengan agama kita Islam. Hal ini didukung dengan penggunaan istilah ‘berjamaah’, permusuhan yang dilakukan secara bersama-sama.Bagaimana hal itu bisa terjadi? Permusuhan yang dilakukan secara berjamaah.

Buku dengan sampul lukisan abstrak ini mewakili isi bukunya, berisi konflik yang juga pelik. Namun layaknya lukisan abstrak, tetap masih bisa nikmati dengan cara yang khusus. Tidak banyak orang yang dapat menikmati lukisan abstrak, kecuali mereka yang memahami seni, estetika, sampai nilai dari sebuah karya. Demikian pula dengan konflik, seteru, tidak banyak orang yang bisa menikmati hikmahnya dalam suatu kelompok tertentu. Terkadang, lebih banyak mereka yang terbawa oleh arus konflik daripada yang berperan sebagai penyelesaian konflik, ataupun aktor dari konflik itu sendiri.

Yusuf Maulana, penulis buku ini sangat mengerti kondisi saat ini. Buku dengan judul “Seteru Berjamaah” ini begitu menggambarkan kondisi sosial politik dari sebuah gerakan dakwah, pemerintahan sampai aktivitas aktivisnya. Sesuai dengan sub-judulnya “Interaksi Kekuasaan dan Gerakan Dakwah” karena pada tahun 2018, tahun dicetaknya buku ini bertepatan dengan tahun politik ditambah dengan isu keummatan seperti penistaan agama, perpecahan umat, kriminalisasi ulama, radikalisme, sangat relevan dengan apa yang beliau tulis dalam buku. Beliau memberikan argumentasi bagaimana kita sebagai generasi zaman sekarang menyikapi kondisinya.

Bagaimana beliau menyampaikan argumennya? Dengan kisah, cerita. Konteks cerita yang beliau tulisakan berisi dengan konflik antara pemerintahan dengan rakyatnya, antara pengikut madzab, antara ulama pengikut pemerintah dengan oposisi, latarnya sejak era kenabian, kekhilafaan Umayyah, Abbasyiyyah, sampai konflik rakyat Indonesia dengan penjajah Belanda. Jika kita membaca kisah dalam buku ini, kita menjadi tahu bahwa Imam Ahmad bin Hanbal adalah satu-satunya ulama yang tersisa dengan teguh hati menentang kebijakan Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti  Abbasyiyyah kalau AlQur’an itu makhluk, tidak kekal karena bukan termasuk bagian dari Dzat-Nya, ini adalah paham Mu’tazilah. Efek dari kebijakan ini, pasca bergulirnya kepemimpinan menyebabkan ulama-ulama di Baghdad dicap munafik, derajat keilmuannya turun kecuali Imam Ahmad bin Hanbal karena tetap dalam pendirian bahwa AlQur’an itu Qadim.

Dari kisah Imam Hambali diatas, tidak kita temukan dihembuskannya isu kriminalisasi ulama. Padahal disana terjadi ‘penyeragaman’ pemahaman tentang AlQur’an yang korbannya adalah ulama-ulama. Banyak yang sebelum ‘terpaksa’ sepakat dengan pemerintah di penjara dan dihukum sedemikian rupa, tidak ketinggalan ulama yang mendukung pemerintah akhirnya turut menyalahkan sikap Imam Hambali yang tidak mau berkompromi dengan pemerintah. Pada akhirnya, masyarakat akan menilai apa yang nampak di depan mata bahwa ulama yang konsisten dalam pendiriannya hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Kisah-kisah yang beliau ceritakan dalam buku ini mengajarkan kita memahami sebuah konflik sebagai proses menuju dewasa. Mereka yang mudah tersulut emosi atas konflik yang terjadi menandakan belum menggunakan akal dengan baik dan benar. Namun kenyataanya, memang di era cyber kini orang lebih cepat bertindak tanpa berfikir, lebih cepat memutuskan tanpa menimbang terlebih dahulu. 

Dengan membaca buku setebal kurang dari 200 halaman ini, kita mendapat sudut pandang baru tentang memaknai sebuah seteru, konflik dengan arif dan bijaksana. Meskipun konflik itu terjadi dalam tubuh jama’ah, kelompok, atau golongan kita sendiri, yang jelas tanpa taqlid buta tapi dengan pemahaman yang sebenarnya. Karena konflik, perbedaan pandangan, itu sebuah sunnatullah yang tidak bisa kita hindari tapi cukup dipahami dan diselesaikan.

Wallahua’lam.

"Konflik adalah ruang melapangkan pemikiran dan keadaban dalam berilmu. Sebanyak apapun ilmu kita, kala konflik mendera itulah medan pembuktiannya. Konflik tak berarti ukhuwah harus berpecah." (Yusuf Maulana - Seteru Berjamaah)

Komentar

Posting Komentar

Pesan anda sangat kami harapkan... :-)

Postingan populer dari blog ini

Ada Apa Dengan "Baarakallah" dan "Innalillah" ?

Lumrah bagi sebagian besar kalangan aktivis dakwah yang mengucapkan kalimat “Baarakallah” yang diiringi dengan “Innalillah”, utamanya kepada salah seorang saudara yang mendapatkan amanah ataupun jabatan baru di organisasi kampus. Namun yang menjadi pertanyaan dalam benak saya ketika mendapatkan ucapan ini adalah apa hubungan keduanya sehingga dapat dijadikan satu ungkapan saat seseorang terbebankan amanah ataupun jabatan baru? Insya Allah akan kita bahas bersama. Baarakallah tersusun dari dua kata bahasa arab; baaraka dan allah . Secara bahasa

Diskusi Online : Sejarah Partai Mahasiswa di Universitas Tanjungpura Pontianak

Diskusinya sudah lewat, ini beberapa catatan yang terekam selama diskusi. simak selengkapnya  Notulensi Diskusi Online Parlementer #VivaLegislativa #HidupMahasiswa

Virus Yang Lebih Dahsyat Dari Corona*)

Sumber : tirto.id Adakah virus yang lebih “dahsyat” dari pada virus Corona ? Ada. Jawabannya adalah virus fitnah. Proses penyebarannya begitu masiv, sangat cepat dan bahkan cukup mematikan ; mematikan silaturrahmi, mematikan kebersamaan dan bahkan bisa memporak porandakan wilayah Tauhid, sebuah areal yang sangat sensitive. Karena fitnah itu sendiri lebih kejam dari pembunuhan, Wal-fitnatu asyaddu minal qotl. “Mengapa tidak boleh shalat berjamaah dan jum’at di masjid ? Justru saat Allah menurunkan cobaan, mengapa harus menjauhi masjid ? Jangan-jangan ini bagian dari konspirasi global Yahudi yang tidak suka umat Islam memakmurkan masjid, bukankah jauh lebih baik mati di dalam masjid daripada mati mengurung diri di rumah ? Mengapa lebih takut kepada Corona dari pada takut kepada Allah? Bukankah kematian itu sudah diatur oleh Allah, dan hanya Dia yang menentukan ? Memang zaman benar-benar sudah mendekati kiamat ...” Inilah diksi yang berkembang saat ini. Berkembang terus, be