"Itulah sebabnya
perjuangan sekuler adalah sebuah tragedi. Sebuah pemberontakan yang tak mungkin
membuahkan hasil namun dipaksakan.”
Kalimat diatas adalah opening
yang bisa kita baca pada sampul buku “Risalah Liberal” karya Imam Fajar
Saputra. Dengan warna sampul hitam dan icon topeng merah menambah kesan
mencekam akan isi daripada buku tersebut. Pertama kali open PO, sebenarnya saya
cukup terkejut dengan judul yang ‘aneh’ dan berani. Bagaimana tidak, genre
pemikiran adalah sisi yang sangat jarang di jamah oleh kebanyakan penulis -sejauh
yang saya kenal- apalagi bagi penulis muda seperti beliau.
Penulis, sepanjang saya
mengenalnya tidak jauh dari dunia gerakan. Amanah dan pengalamannya bergaul
dengan lintas pemikiran dapat menjadi latar belakang lahirnya buku ini. Dengan
rasa penasaran, saya beli buku ini untuk mendapat manfaat daripadanya, dan
benar! Mari kita sedikit intip isinya.
Buku yang cukup ringan saat
dibawa, namun berat saat dibaca. Kesan pertama saat membuka halaman demi
halamannya. Karena, sekali lagi, ini buku pemikiran sehingga tidak hanya
sekedar dibaca sepintas namun harus direnungi dan ditadabburi setiap untaian
katanya.
Bagi teman-teman yang ingin
mengetahui akar berbagai isme-isme di belahan dunia, saya sangat
merekomendasikan untuk membaca buku ini. Bahasa yang penulis pakai cukup mudah
ditelaah, terdiri dari 6 Bab yang singkat dan padat dalam penjelasannya. Dibuka
dengan informasi mengenai metodologi manusia dalam beragama, khususnya Islam.
Penulis menjelaskan bahwa Islam bukan agama dogma, ia adalah agama rasional.
Sehingga isme yang memisahkan antara agama dengan aspek kehidupan jelas
tidak cocok dengan Islam. Penulis juga turut mengkritik berbagai praktik agama
yang tidak menggunakan akal sebagai pedomannya, sehingga menjadikan jumud dan
taqlid buta. Padahal, kita juga pahami bersama bahwa dalam beragama kita
memiliki dua jenis dalil; yakni dalil naqli (nash, teks kitab dan
hadits) dan juga dalil aqli (akal).
Banyak nama-nama tokoh yang
penulis sebutkan. Dimulai dari mereka yang turut menyebarkan virus isme
perusak pemahaman islam sejak era pra-kemerdekaan hingga usia Indonesia masuk
ke angka puluhan. Tersebutlah tokoh-tokoh JIL, beberapa oknum tokoh yang
terlibat dalam panitia persiapan kemerdekaan untuk turut melobi penghapusan dan
perubahan beberapa kata dalam piagam Jakarta, pembukaan UUD 1945.
Kita sebagai pembaca akan dibuat
terperangah atas ulasan penulis. Fakta sejarah yang tidak tersebut dalam buku
pelajaran SD-SMP akan terbuka didalam buku ini. Bagaimana dinamika diskusi
PPKI, debat antara Ir. Soekarno dengan para tokoh Islam; Agus Salim, KH. Wahid
Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo cukup menggambarkan ‘panas’nya para founding
fathers merumuskan wajah baru NKRI kala itu.
Meskipun,
dalam beberapa pembahasan saya menilai ada sedikit kesalahpahaman penulis saat
membahas perihal gerakan JIL di Indonesia. Seperti pencantuman nama Gus Dur,
KH. Said Aqil Sirajd sebagai salah satu bagian dari gerakan JIL. Hal ini bisa
dimaklumi, karena memang mayoritas nama yang disebutkan penulis merupakan
alumni dari pondok pesantren dan tidak jauh garis nasab keguruannya dengan dua
pentolan NU pada eranya. Namun, untuk membedah bagaimana pola pikir dan
kesesatan berfikir kaum liberal (sesuai judul buku), cukup memberi diferensiasi
dengan Islam yang seharusnya di amalkan oleh mayoritas muslim di Indonesia.
Dengan membaca buku ini, kita akan disadarkan bahwa isme yang berkembang tidak akan pernah berhenti sampai kita yang ikut dengan arus isme tersebut. Sehingga, syarat mutlak bagi kita untuk menjadi seorang muslim yang benar adalah dengan memahami bagaimana isme itu bekerja, bagaimana isme itu mencoba memutar balikkan pemahaman suatu konteks dalil sehingga sesuai dengan yang ‘mereka harapkan’. Saran terakhir dari saya, buku dengan tebal 270 halaman ini perlu ditambah halamannya.
Dengan membaca buku ini, kita akan disadarkan bahwa isme yang berkembang tidak akan pernah berhenti sampai kita yang ikut dengan arus isme tersebut. Sehingga, syarat mutlak bagi kita untuk menjadi seorang muslim yang benar adalah dengan memahami bagaimana isme itu bekerja, bagaimana isme itu mencoba memutar balikkan pemahaman suatu konteks dalil sehingga sesuai dengan yang ‘mereka harapkan’. Saran terakhir dari saya, buku dengan tebal 270 halaman ini perlu ditambah halamannya.
Ternyata dengan membaca buku ini mendapatkan wawasan yang baru lagi tentang arti risalah liberal namun tidak harus di praktekkan jika tidak sesuai dengan ajaran agama Islam
BalasHapusbenar sekali bang, bagaimana kita mau memutuskan itu baik atau buruk jika kita tidak paham hal tersebut?
Hapusdi buku ini kita dapat jawabannya.
Saya sebenarnya kurang suka membaca buku yang tebal-tebal, dengan adanya review buku setidaknya saya bisa tahu sedikit tentang buku ini. :)
BalasHapusalhamdulillah, semoga manfaat bang... :D
Hapus