Langsung ke konten utama

Kalau Aku Pergi, Memang Kenapa?


Sebuah autokritik - Salah satu tanda akhir zaman adalah diutusnya Nabi Muhammad Saw ke alam semesta untuk sekalian makhluk. Dan itu sudah berlalu 1400 tahun yang lalu. Bersamaan dengan itu disertai dalam dakwah Nabi sebuah panduan hidup berupa lembaran yang dibukukan bernama AlQur-an, tepat pertama diturunkan pada bulan pilihan yakni Ramadhan.

Ramadhan yang diberkahi ini dirasakan tidak hanya bagi muslim, namun seluruh umat manusia. Khususnya di Indonesia, bulan ini omzet jualan kebutuhan pokok akan berkali lipat jumlahnya, sungguh suatu hal yg tidak didapat dibulan lain.

Dan sudah menjadi kebiasaan juga, saat tanggal tua Ramadhan datang banyak orang yang berseloroh, "Semoga tahun depan bisa bertemu lagi," "Jangan jadikan ini Ramadhan terakhir kami," dan segudang ungkapan sedih karena akan ditinggal "pergi" bulan suci.

Namun apakah itu sudah benar-benar ungkapan dari hati wahai diri? Bukan sekedar pemanis bibir yang kering ini? Bukan pengundang komen, like, dari ribuan followers di medsos?

Ayolah kawan, kalau Ramadhan pergi apa kau yakin akan beramal lebih baik dari tahun ini? Seberapa yakin Sang Pemilik Jiwa masih memberi kesempatan kedua untuk bisa bertemu tamu istimewa? Bukankah sudah puluhan tahun kau diberi kesempatan bertemu, bersama, merasa, dan menikmati hari demi hari, tapi nyatanya kau lewati hanya dengan haus dan dahaga? Nyatanya malam panjang di akhir yang kau tau penuh berkah hanya diisi dengan dengkur fals yang menyenangkan nafsu durjana?

اللهم بلغلنا في شهر رمضان ...
"Allahumma balliglana fii syahri Ramdhaan.."

اللهم انك عفو تحب العفو فعف عنا...
"Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'annaa.."

Janganlah kau sia-siakan detik demi detik yang masih tersisa dalam hidup. Berbuat benar dimanapun dan kapanpun, berlaku  baik kepada siapapun dan bagaimanapun. Lalu pertanyaan yang paling mendasar, "Kalau Ramadhan pergi, kau mau apa?"

Wallahu a'lam...

AlFaqier
Nauval Muhammad
Ketapang, 28 Ramadhan 1439 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada Apa Dengan "Baarakallah" dan "Innalillah" ?

Lumrah bagi sebagian besar kalangan aktivis dakwah yang mengucapkan kalimat “Baarakallah” yang diiringi dengan “Innalillah”, utamanya kepada salah seorang saudara yang mendapatkan amanah ataupun jabatan baru di organisasi kampus. Namun yang menjadi pertanyaan dalam benak saya ketika mendapatkan ucapan ini adalah apa hubungan keduanya sehingga dapat dijadikan satu ungkapan saat seseorang terbebankan amanah ataupun jabatan baru? Insya Allah akan kita bahas bersama. Baarakallah tersusun dari dua kata bahasa arab; baaraka dan allah . Secara bahasa

Diskusi Online : Sejarah Partai Mahasiswa di Universitas Tanjungpura Pontianak

Diskusinya sudah lewat, ini beberapa catatan yang terekam selama diskusi. simak selengkapnya  Notulensi Diskusi Online Parlementer #VivaLegislativa #HidupMahasiswa

Virus Yang Lebih Dahsyat Dari Corona*)

Sumber : tirto.id Adakah virus yang lebih “dahsyat” dari pada virus Corona ? Ada. Jawabannya adalah virus fitnah. Proses penyebarannya begitu masiv, sangat cepat dan bahkan cukup mematikan ; mematikan silaturrahmi, mematikan kebersamaan dan bahkan bisa memporak porandakan wilayah Tauhid, sebuah areal yang sangat sensitive. Karena fitnah itu sendiri lebih kejam dari pembunuhan, Wal-fitnatu asyaddu minal qotl. “Mengapa tidak boleh shalat berjamaah dan jum’at di masjid ? Justru saat Allah menurunkan cobaan, mengapa harus menjauhi masjid ? Jangan-jangan ini bagian dari konspirasi global Yahudi yang tidak suka umat Islam memakmurkan masjid, bukankah jauh lebih baik mati di dalam masjid daripada mati mengurung diri di rumah ? Mengapa lebih takut kepada Corona dari pada takut kepada Allah? Bukankah kematian itu sudah diatur oleh Allah, dan hanya Dia yang menentukan ? Memang zaman benar-benar sudah mendekati kiamat ...” Inilah diksi yang berkembang saat ini. Berkembang terus, be