Langsung ke konten utama

Mengkhidmati Keberagaman


Oleh : Muhammad Nashir Syam
Keberagaman adalah sebuah keniscayaan, dalam terminologi agama lazim disebut sunnatullah, sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Karena ia memang sesuatu yang given (kodrati) dalam kehidupan. Justeru dalam Islam, keberagaman diyakini sebagai rahmat Allah, sebagai karunia yang mencerdaskan umatnya melalui dinamika perbedaan yang konstruktif. Bukankah dalam sebuah Hadits Nabi disebutkan bahwa, “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” Sinyalemen Rasulullah SAW ini cukup mengindikasikan semangat keberagaman (dengan segala perbedaan yang ada) itu. Meminjam bahasanya Kang Said (KH. Said Aqiel Siraj, Ketua PBNU) perbedaan pendapat (misalnya dalam masalah khilafiyah furu’iyah) di kalangan umat Islam itu akan tetap ada, “sampai kiamat sekalipun”. Pernyataan yang agak bombastis, tapi rasanya sulit terbantahkan.

Kitapun diingatkan akan Mahakata Ilahi dalam Kalam SuciNya pada Surah ke-49 Al-Hujurat ayat 13 ; “Wahai manusia, sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dari teks suci tersebut sejatinya memberikan kesadaran akan Kemahabesaran Allah SWT yang oleh karenanya wajib kita syukuri bersama. Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari, keberagaman justeru menjadi “batu sandung” untuk saling mengangkat dan menguatkan pada saat yang bersamaan untuk saling menjatuhkan dan membinasakan. Sehingga penempatan makna keberagaman (pluralisme) beraneka pandangan politik, ideologi maupun paham dan keyakinan keagamaan akhir-akhir ini menjadi bahasan utama di tengah-tengah semua elemen publik, sebagai akibat logis dari kesulitan kita sebagai bangsa mengatasi konflik intern maupun ekstern kebangsaan, termasuk di dalamnya konflik antar dan intern umat beragama yang kian terbuka dewasa ini.

Sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia dikaruniai oleh Allah SWT keanekaragaman sisi-sisi kemanusiaan, seperti perbedaan ras, bahasa, budaya, sosial-politik, ekonomi maupun agama. Yang terakhir ini (yaitu Agama) justeru terkadang menjadi pemicu konflik. Agama yang hadir di dunia sejatinya menuntun umatnya untuk menjadi manusia yang paripurna, namun apabila dimaknai sebagai sebuah keyakinan yang paling mutlak kebenarannya justeru pada akhirnya  menghukumi komunitas yang ada di luar, sebagai komunitas yang sesat dan nerakalah tempatnya. Memperjuangkan sebuah dogma yang diyakini kebenarannya adalah sah-sah saja, tetapi memaksakan kehendak agar komunitas yang lain mengikuti keyakinannya, ini sudah berada di luar bingkai keberagaman itu sendiri. Karena konsep Islam sudah jelas : “Lakum diinukum waliyadiin.”

Merasa paling benar atas apa yang diyakini, yang ujung-ujungnya memunafikkan bahkan mengkafirkan kelompok lain, adalah dampak dari pemaknaan Islam yang sempit. Namun boleh jadi dilatarbelakangi oleh kultur, sosial, cara pandang dan perbedaan politik lokal dan kepentingan sesaat yang membawa-bawa agama demi ambisi dan tujuan tertentu. Apabila Islam difahami secara kaaffah di mana kehadirannya di permukaan bumi ini sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin) maka perbedaan-perbedaan sebagai ruh keberagaman itu justeru menjadi perekat dan pemersatu, karena kemuliaan itu dilihat dari ketakwaannya, bukan dari mana dia berasal atau bahasa apa yang digunakan.

Meyakini, mengakui dan menghargai perbedaan dan keberagaman sesungguhnya menjadi doktrin fundamental dari Al-Qur’an. Kendatipun bukan berarti Al-Qur’an mengakui semua agama yang ada. Namun satu hal yang pasti adalah berdasarkan kenyataan sejarah, munculnya perbedaan dan keragaman faham keagamaan, budaya dan politik merupakan sunnatullah, di mana Al-Qur’an sendiri memberikan akomodasi bagi pertumbuhan dan perkembangan pluralitas faham dalam masyarakat itu. Salah satu persoalan yang sering tumbuh di kalangan para tokoh agama (dalam hal ini Islam, misalnya) mereka seringkali mengingkari kenyataan ini, sambil mendambakan terwujudnya “agama yang tunggal”. Ini jelas sebuah kemustahilan dan bertentangan dengan asal kejadian manusia yang memang diciptakan dengan pembawaan dan nasib hidup yang berbeda-beda.

Simpul Kata
Pertama, issu SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) sebagai konsekuensi logis dari keberagaman apabila dibingkai dengan kearifan nilai-nilai kemanusiaan berupa terciptanya rasa keadilan dan pemerataan, perlindungan dan kebersamaan maka justeru akan menjadi sesuatu yang indah, sangat indah. Harmonisasi yang luar biasa. Tentu saja hal ini hanya mungkin tercipta bila ia dikelola secara benar dan rasional. Adapun konflik-konflik yang telah timbul, lebih disebabkan oleh sebuah proses konstruksi sosial kekerasan (the social construction of violence).

Kedua, makna fundamental dialog antar umat beragama atau intern umat beragama bukan terletak pada peningkatan komunikasi yang saling menghargai dan menguntungkan semata, melainkan lebih pada kerjasama yang mendalam untuk memahami masalah secara proporsional, menelusuri sebab-sebab secara rasional dan terutama selalu mengacu pada ketepatan pemecahan masalah secara konkrit dan tuntas.

Ketiga, perlu kesadaran bersama dan kelapangan dada untuk mengurai setiap persoalan yang melibatkan banyak faktor, sambil menyingkirkan unsur-unsur yang memperkeruh atau setidak-tidaknya meminimalisir perbedaan menuju persamaan tujuan dan kepentingan bersama.
Akhirnya, disamping perlu penafsiran agama yang lebih menghargai nilai-nilai universal, pluralisme, inklusif dan toleran, penting pula penataan kembali struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik untuk mempertegas integritas bersama dalam kehidupan yang demokratis. Hanya dengan cara itulah kerukunan hidup beragama yang genuine bisa terwujud. Hanya dengan cara itu pulalah beragam dan majemuknya faham keagamaan di antara kita tidak mungkin saling menghinakan apalagi membinasakan, melainkan justeru bisa saling mendukung dan mengkhidmati.

Wallahu A’lam Bish Shawab ***

*) Penulis Praktisi Pendidikan Ketapang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada Apa Dengan "Baarakallah" dan "Innalillah" ?

Lumrah bagi sebagian besar kalangan aktivis dakwah yang mengucapkan kalimat “Baarakallah” yang diiringi dengan “Innalillah”, utamanya kepada salah seorang saudara yang mendapatkan amanah ataupun jabatan baru di organisasi kampus. Namun yang menjadi pertanyaan dalam benak saya ketika mendapatkan ucapan ini adalah apa hubungan keduanya sehingga dapat dijadikan satu ungkapan saat seseorang terbebankan amanah ataupun jabatan baru? Insya Allah akan kita bahas bersama. Baarakallah tersusun dari dua kata bahasa arab; baaraka dan allah . Secara bahasa

Diskusi Online : Sejarah Partai Mahasiswa di Universitas Tanjungpura Pontianak

Diskusinya sudah lewat, ini beberapa catatan yang terekam selama diskusi. simak selengkapnya  Notulensi Diskusi Online Parlementer #VivaLegislativa #HidupMahasiswa

Virus Yang Lebih Dahsyat Dari Corona*)

Sumber : tirto.id Adakah virus yang lebih “dahsyat” dari pada virus Corona ? Ada. Jawabannya adalah virus fitnah. Proses penyebarannya begitu masiv, sangat cepat dan bahkan cukup mematikan ; mematikan silaturrahmi, mematikan kebersamaan dan bahkan bisa memporak porandakan wilayah Tauhid, sebuah areal yang sangat sensitive. Karena fitnah itu sendiri lebih kejam dari pembunuhan, Wal-fitnatu asyaddu minal qotl. “Mengapa tidak boleh shalat berjamaah dan jum’at di masjid ? Justru saat Allah menurunkan cobaan, mengapa harus menjauhi masjid ? Jangan-jangan ini bagian dari konspirasi global Yahudi yang tidak suka umat Islam memakmurkan masjid, bukankah jauh lebih baik mati di dalam masjid daripada mati mengurung diri di rumah ? Mengapa lebih takut kepada Corona dari pada takut kepada Allah? Bukankah kematian itu sudah diatur oleh Allah, dan hanya Dia yang menentukan ? Memang zaman benar-benar sudah mendekati kiamat ...” Inilah diksi yang berkembang saat ini. Berkembang terus, be