“...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d 13:11).
Tadabbur kalam ilahi diatas dapat
mengandung dua kaidah yakni kaidah mabda’
dan minhaj. Mabda’ secara etimologi
berarti tempat memulai, prinsip atau tolak ukur. Sedangkan minhaj berarti
sistem.
Kaidah mabda’ atau titik tolak
dalam perubahan harus dimulai dari pembangunan diri sendiri (self-recontruction) yang dilandasi oleh
kesadaran diri sendiri (self-awareness)
serta didukung dengan kemampuan diri (self-capability)
yang memadai. Hal ini menuntuk rekonstruksi pribadi diri, sikap, prilaku
termasuk pola fikir seseorang. Dapat dikatakan bahwa titik tolak perubahan
secara penuh tergantung dari komitmen awal tiap pribadi manusia itu sendiri
sesuai dengan firman Allah SWT, sehingga daya dan upaya manusia lainnya untuk
melakukan perubahan itu tidak menjadi penting.
Mulai dari titik tolak ini yang
menuntun kepada minhaj atau metode untuk dapat menjalankan hidup secara percaya
diri dengan mengedepankan potensi-potensi internal dalam proses perubahan
menuju kebaikan. Dengan mabda’ dan minhaj yang sesuai dengan kaidah yang benar,
maka perubahan sekitarnya akan lebih mudah.
Kisah hidup Rasulullah memulai
perubahan masyarakat Arab yang masih jahiliyyah dari diri sendiri, dengan
prestasinya mendapat gelar Al-Amin dan segala hal baik lainnya. Dengan sifat
luhur yang mendasar itulah beliau mulai merekonstruksi nilai yang ada pada
masyarakat sekitar. Secara perlahan nilai luhur mulai menyebar ke seantero
Mekkah, bahkan ke Madinah dan wilayah sekitarnya mengenal sifat luhur yang
beliau miliki. Perubahan yang memerlukan perngorbanan besar dan waktu yang
tidak sebentar untuk merekonstruksi nilai, sikap dan orientasi bangsa Arab kala
itu.
Perubahan itu sendiri selalu
mendampingi setiap gerak-gerik kehidupan manusia. Bahkan lingkungan ini pun
selalu berubah dan tidak pernah berhenti sesuai sunnatullah. Perubahan itu akan
merubah kita jika kita tidak ada komitmen untuk berubah. Sesuai dengan kedua
kaidah yang terkandung dalam QS. Ar-Ra’d : 11.
Analogi sederhana adalah saat
kita menggoreng ikan asin. Bayangkan minyak goreng panas yaang mendidih adalah
lingkungan yang selalu berubah, ikan asin itu kita dan spatula adalah ikhtiar
kita untuk berubah. Seandainya ikan asin tersebut dibiarkan diatas minyak panas
tanpa dibalik menggunakan spatula, apa yang terjadi? Dapat dipastikan ikan asin
itu akan gosong dan tidak layak makan. Bagaimana dengan manusia? Jika kita
tidak ingin terseleksi oleh perubahan itu, maka BERUBAHLAH! Jangan sampai
perubahan itu yang merubah kita.
Wallahu a’lam...
Disampaikan dalam
Opening Ceremonial Pra-BIT2 Fkmi Ulul Albab FP Untan (13 Nov 2016)
Val tafsirnya mungkin nggak gt...
BalasHapus