Oleh : M. Nashir Syam., M.Pd.I
“Saudara-saudara serta hadirin yang
dimuliakan Allah! Didalam AlQur-an ditegaskan bahwa sebagian dari ciri-ciri
orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila diingatkan kata-kata ‘Allah’
maka bergetarlah hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat Allah, maka semakin
teballah iman mereka , dan hanya kepada Tuhannya mereaka bertawakkal...”
Demikian kata seorang da’i muda dari
luar kota, dalam ceramahnya pada sebuah majelis pengajian remaja.
Berkacamatan minus, berpenampilan
seorang mahasiswa intelek, semangat, dan penuh dedikasi. Kadang, kata-kata
asing yang susaah dimengerti oleh hadirin keluar dari mulutnya. Sesekali tangan
kanannya diangkat, sambil bertanya kepada hadirin yang sebagian besar kaum remaja
itu, “Saudara tahu, apakah Iman itu? Hening, tiada jawaban. Dari pojok,
beberapa orang remaja meninggakan
majelis.
“Kebanyakan remaja pada masa
sekarang ini lebih senang kepada hal-hal yang negatif, huru-hara, mabuk, pasang
nomer, dan sebagainya dan sebagainya! Mereka menganggap iman itu apa! Hanya
dongengan kuno guru agama, atau boleh jadi remaja pada masa sekarang ini lebih
cenderung beriman dimulut, daripada dilaksanakan dengan perbuatan...” demikian
da’i muda itu melanjutkan. Satu dua orang remaja mustami’ ceramah
berbisik-bisik, kemudian beringsut-ingsut meninggalkan majelis, diikuti oleh
remaja yang lain dari belakang.
Da’i muda kembali mengangkat tangan
kanannya, dan jari telunjuknya ia tudingkan keatas. Katanya,
“Ingatlah! Iman itu sempurna bila disertai dengan tiga unsur. Ketiganya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya!” Hadirin tidak menunjukkan reaksi apa-apa, semantara Sang Da’i muda tetap bersemangat diatas mimbar. Kira-kira sembilan sampai sepuluh orang pendengar ceramah secara bergerombol keluar meninggalkan majelis.
“Ingatlah! Iman itu sempurna bila disertai dengan tiga unsur. Ketiganya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya!” Hadirin tidak menunjukkan reaksi apa-apa, semantara Sang Da’i muda tetap bersemangat diatas mimbar. Kira-kira sembilan sampai sepuluh orang pendengar ceramah secara bergerombol keluar meninggalkan majelis.
“Ketiga unsur itu adalah, diyakini
dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan direalisasikan dengan perbuatan. Itulah
ketiga unsur, yang dengannya iman seseorang dikatakn sempurna. Anda percaya
dimulut, tetapi tidak anda yakini dalam hati, apakah itu dikatakan beriman?
Anda percaya kepad AlQur-an, tetapi perintah yang didalamnya tidak Anda
laksanakan, apakah itu dikatakan beriman? Anda percaya kepada Rasul, akan
tetapi tidak melaksanakan sunnah-sunnahnya, apakah itu dikatakan Anda
beriman...?” Satu persatu hadirin ngeloyor ke luar. Majelis agak sepi dari pendengar.
Sang da’I muda masih tetap bersemangat menyampaikan ceramahnya.
Katanya lagi, “Sebagai seorang pemuda muslim, suah seharusnyalah kita
tetap komitmen terhadapt al-Islam, dalam arti menjadikan Islam sebagai
satu-satunya alternatif dalam semua perilaku keseharian. Entah dalam pola fikir, sikap maupun perbuatan. Jangan
jadi pemuda yang sekedar berbaju muslim, tetapai jiwanya jauh dari nilai-nilai
Islam! Kita dapat lihat sendiri, betapa banyak saudara-saudara kita yang hanyut
dalam gelombang budaya Barat! Mabuk-mabukan menjadi kebanggaan, pergaulan bebas menjadi kebiasaan... lalu hendak dibawa
kemana negri ini apabila generasi mudanya seperti itu?”
Pendengar ceramah akhirnya tinggal
tiga orang. Sang da’i muda berfilsafat, “Lebih baik mendapatkan tiga tetes madu
daripada tiga drum racun...” tiga orang remaja pendengar ceramah itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mungkin mereka memahami benar akan falsafah
dari sang da’i.
Beberapa saat kemudian, ceramah
itupun berakhir. Alim, salah seorang dari tiga remaja itu menghampiri sang
da’i.
Sambil bersalaman ia berkata,
“Beginilah keadaan remaja di kota ini. Meraka sekarang agaknya sudah merasa
bosan apabila diajak berbicar soal iman. Mereka lebih tertarik pada
perkembangan musik, film, dan apa yang sedang ngetop pasa masa kini. Mereka
akan memadati tempat-tempat hiburan tanpa diundang atau diumumkan melalui
pengeras suara...”
Sang da’i muda dengan tenang
menjawab, “Ah tak apalah... itu biasa, itu kan fitrah mereka! Bahkan setelah
ini saya kan menghadiri pentas seni di panggung
terbuka, suatu kesempatan yang
baik untuk bertemu artis-artis ibukota...”
Alim sedikit terkejut, “Tadi kan
Anda berceramah bahwa remaja sekarang lebih suka pada yang berbau
hura-hura...?”
“Lha iya, ceramah saya tadi...
merupakan latihan bagi saya. Soalnya minggu depan saya akan mengikuti Lomba Da’wah di kampus. Oleh
karenanya, saya manfaatkan kesempatan
ini untuk latihan. Ya, itu sih, mau dianggap ceramah ya, silahkan! Mau
dikatakan pengajian juga tidak keberatan...” jawabnya amat mantap.
Kemudian Alim pun keluar dari
majelis pengajian itu. Dengan membawa satu kesan khusus. Ia menulis dalam buku
‘catatan Agama’nya dengan kalimat: “Aku mendapatkan sebatang lilin menyala,
menerangi sekelilingnya, padalah ia menghancurkan dirinya sendiri. Wahai
badan... sudah semakin banyakkah orang yang pandai menyerukan kebaikan, padahal
ia sendiri tidak melakukannya? Wahai badan, aku yang bodoh kini bertambah
bodoh.” -end-
Komentar
Posting Komentar
Pesan anda sangat kami harapkan... :-)