Negara
Indonesia mulai tahun 2016 akan memasuki dunia baru yang lebih bebas dan luas
dengan keluar masuknya tenaga kerja, investasi, barang, serta jasa negara asing. Hal
tersebut membuat kehidupan penduduk Indonesia menjadi lebih ‘mudah’. Namun,
kemudahan tersebut belum dipastikan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat. Bahkan kemudahan ini saja belum tentu dipahami oleh kaum elit
Indonesia. Lalu bagaimana kita dapat menikmati ‘kemudahan’ tersebut?
Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2016 akan segera datang. Sebenarnya MEA atau ASEAN Economic Community (AEC) merupakan
salah satu dari 3 pilar ASEAN Community, yaitu ASEAN Economic Community,
ASEAN Security Community, dan
ASEAN Socio-Cultural Community akan segera diimplementasikan dan ditargetkan terintegrasi
penuh pada tahun
2020, dipercepat menjadi
tahun 2016 sesuai hasil KTT di
Cebu pada tahun 2007. Pemerintahan Indonesia yang saat itu masih dipegang
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, telah menegaskan bahwa negara Indonesia
telah ‘siap’ untuk menghadapi
persaingan yang lebih luas dengan berbagai negara
di lingkup Asia Tenggara. Berbagai pernyataan serta program telah beliau
sampaikan dan canangkan untuk menyambut kedatangan MEA 2016 mendatang. Mulai dari
penyaluran bantuan usaha-usaha mikro rakyat, peningkatan mutu tenaga kerja
produktif utamanya usia muda, perbaikan sarana wisata daerah, kerajinan daerah
dengan keseniannya dan lain sebagainya.
Dengan
diadakannya MEA tersebut,
sudah pasti membuat kita harus mengikuti apa yang telah diputuskan presiden
Indonesia. Mau tidak mau sebagai warga negara yang berpendidikan serta termasuk
kaum intelektul, kita harus membentengi diri dengan segala persiapan dalam
menghadapi pasar bebas. Mulai dari perbaikan sektor-sektor penting, seperti
industri pangan, hasil-hasil pertanian, mutu tenaga kerja dan sebagainya. Terutama peningkatan produktivitas
hasil-hasil di daerah perbatasan yang akan berhadapan secara langsung dengan produk-produk
luar negeri dengan berbagai kelebihan yang tidak terduga. Salah satunya strategi yang akan dibahas dalam menghadap pasar bebas ASEAN adalah dengan mengoptimalkan
hasil-hasil pertanian di Kalimantan Barat.
Kalimantan Barat
mempuyai potensi sumber daya alam yang luar biasa. Provinsi terbesar ke-4 ini memiliki luas
wilayah sekitar 146.807 km² (7,53% luas Indonesia). Bahkan, sektor pertanian
bagi daerah Kalbar sampai saat ini ternyata masih menjadi tulang punggung
perekonomian daerah, baik sebagai penghasil nilai tambah dan devisa maupun
sumber penghasilan atau penyedia lapangan kerja sebagian besar penduduknya. Dengan lahan produktif sekitar 546.000 hektar jauh lebih banyak ketimbang provinsi di Jawa. Dengan demikian, perlu adanya tindak lanjut untuk pengembangan
pertanian di Kalimantan Barat untuk mendukung perekonomian Indonesia dalam
menghadapi MEA 2016.
Selain itu, kondisi geografis Kalimantan Barat yang
berbatasan langsung dengan salah satu anggota ASEAN menjadi sebuah tantangan
tersendiri bagi persaingan pasar bebas 2016. Potensi di bidang pertanian
seperti lahan kelapa sawit dengan luas 1,2 juta hektar dan karet denga luas 1,5
juta hektar merupakan kartu As bagi perkembangan ekonomi Indonesia khususnya
Kalimantan Barat. Dengan kata lain, masyarakat Kalimantan Barat harus
mengoptimalkan potensi dengan terus berusah mengembangkannya guna menjaga
kredibilitas nasional.
Namun sayangnya, pertanian di Kalimantan Barat masih
dalam persimpangan jalan yang terjal. Banyak lahan pertanian yang dialih
fungsikan membuat berkurangnya lahan produktif bagi sector pertanian di Kalbar.
Salah satu masalah ini muncul di kabupaten Ketapang, seperti dikutup dari www.kabar65.com (07/12/2014), “Karena lahan pertanian telah berkurang akibat
terjadinya alih fungsi lahan. Proses
pematangan tanah lahan pertanian Kabupaten Ketapang yang memerlukan
waktu.”ungkap Drs.H.Mahyudin,M.Si, kepala Bappeda Ketapang Kalimantan
Barat.
Selain itu, berbagai problema muncul dari sector
perkebunan kelapa sawit. Meskipun kelapa sawit merupakan salah satu sumber
penghasilan besar bagi ekonomi Kalimantan Barat, namun perluasan lahan secara
besar-besaran memiliki efek jangka panjang yang sungguh mengkhawatirkan. Daya
ikat tanah oleh air rendah, turunnya kualitas unsur hara dalam tanah, erosi
sering terjadi, kekeringan, menjadi masalah baru seiring dibukanya lahan
perkebunan kelapa sawit baru.
Dan
ironisnya, data Gabungan Perusahaan Perkebunan
Indonesia (GPPI) Kalbar (Ilham Sanusi 2012), dari 124 perusahaan perkebunan
sawit di Kalbar, sekitar 60 persen dimiliki asing, terutama pengusaha dari
Malaysia. Jasa oknum-oknum tertentu menjadi salah satu masalah
tereksploitasinya lahan di Kalimantan Barat demi kepentingan individu tanpa
memikirkan nasib masyarakat pribumi.
Fakta semacam ini banyak
dijumpai di daerah-daerah pedalaman Kalimantan Barat. Meskipun demikian,
konsentrasi pemerintah masih jauh tertinggal di daerah perkotaan saja tanpa ada
perhatian khusus secara komprehensif dalam mengatur para investor asing yang
berlomba-lomba meraup keuntungan di tanah kita, Kalimantan Barat. Oleh karena
itu, kita sebagai pemuda Kalimantan Barat tidak seharusnya berdiam diri
ditengah-tengah hiruk pikuk persiapan pasar bebas yang sudah di depan mata. Peran
pemuda serta mahasiswa sangat ditunggu bagi peningkatan mutu guna hasil
pertanian serta produk-produk lain sebagai penunjang kesejahteraan hidup
masyarakat Indonesia, khususnya Kalimantan Barat.
Dengan begitu Kalimantan Barat di
MEA 2016 ini milik kita rakyat dan pemuda Kalbar, atau mereka para investor
asing? Kita para pemuda yang akan menjawab pertanyaan ini.
Komentar
Posting Komentar
Pesan anda sangat kami harapkan... :-)